Kehormatanku Direnggut dan Dijebak Oleh Janda Desa
jejakberita7 - Hari itu tiba juga, aku dan beberapa teman lain mulai mengemas barang untuk pergi ke tempat Kuliah Kerja Nyata (KKN) kami.
Dengan memakai jas almamater berwarna biru, kami saling berboncengan mengendarai motor menuju sebuah desa di pelosok Jawa.
Aku tak akan menyebut nama desa tersebut. Desa ini, sejak awal kedatangan sudah mulai mencurigakan.
Hampir semua penduduknya adalah wanita dan mereka rata-rata sedang menggendong bayi atau sedang menyuapi anak-anaknya makan.
Ya, hampir semuanya sudah punya anak. Suaminya? Entah ke mana aku tak tahu.
Hari-hari aku jalani dengan penuh tanda tanya. Sampai suatu ketika, aku bisa cukup dekat dengan salah satu warga desa di sana. Namanya, Ine, dia dari pandanganku sepertinya sudah punya anak satu.
Ine rupanya seorang janda, suaminya pergi tiga tahun lalu untuk merantau ke negeri yang jauh. Katanya, menjadi TKI, tetapi hingga kini tak jelas, batang hidungnya tak kunjung tampak.
"Jangan batang hidung deh mas, batang yang lain, eh, maksudnya kabarnya pun sama sekali enggak ada. Enggak tahu, deh, itu kemana. Nemu yang baru kali di sana," kata Ine.
Tampak tak ada kesedihan atau rasa penyesalan. Seolah, itu memang takdir Tuhan yang sudah bocor kepadanya sehingga tak ada rasa kaget sedikit pun.
Usut punya usut, kisah pedih ditinggal tanpa kabar itu juga terjadi pada warga desa lain.
Hal itu juga menjadi alasan mengapa desa ini penuh dengan wanita dan anak-anak. Mereka ditinggal pergi suami entah kemana dan tak ada kabar.
Kisah Ine membuatku merenung. KKN yang dari awal ku kira akan membosankan, ternyata menjadi perjalanan paling penuh pelajaran.
Aku dan Ine tanpa disadari menjadi dekat. Bercerita dan saling berbagi kisah menjadikan kami cepat akrab.
Anak perempuannya yang masih berusia tiga tahun itu pun mulai berani mengajak aku bermain. Bahkan, terkadang aku sampai dipanggil bapak.
"Waduh, panggil om saja, Dek," kataku sambil menggaruk kepala.
Ine, janda satu anak ini memang mencuri perhatianku. Kisahnya dan bagaimana dia menghadapinya sungguh luar biasa.
Kesabaran dan rasa pasrah, tetapi tidak menyerah membuat aku terkagum-kagum padanya.
Percik cinta mulai tumbuh di dada dan di saat itu pula seorang teman mengingatkanku.
"Hati-hati kita belum tahu persis daerah ini," katanya, sok misterius.
Aku tak memedulikannya. Hampir setiap malam aku berkunjung ke rumahnya. Tentu, itu dilakukan setelah project KKN ku selesai.
Pada satu malam ketika aku berkunjung, Ine yang melihatku berkeringat memintaku untuk mandi di rumahnya.
"Iya, tadi ada kerja bakti. Jadi, berkeringat," kataku.
Ine mengambil handuk bersih dan mengantarkanku ke kamar mandi rumahnya. Aku pun menurut saja.
Saat aku mulai mandi mendadak lampu kamar mati. Pintu kamar mandi yang terkunci entah bagaimana caranya, bisa terbuka.
"Ine?" kataku.
Tak ada jawaban. Suasana mulai terasa aneh. Lalu, kepalaku seketika pusing, ruang kamar mandi ini terasa menjadi semakin gelap.
Tiba-tiba aku merasa seseorang memanggilku dari jauh.
"Andi, Ndi, Bangun," seseorang memanggilku.
Pelan-pelan mataku terbuka dan begitu kagetnya diriku saat melihat orang-orang berkerumun.
Aku terbangun dan bingung. Aku berada di balai desa dan kata teman satu KKN aku, Ine menuduhku telah memaksanya begituan.
Aku dituntut membayar uang Rp 10 juta untuk tanda damai. Aku yang merasa tak melakukan apa-apa memberontak, tetapi rasanya percuma.
Perangkat desa lebih percaya Ine dan bukti aku ditemukan di rumahnya dalam keadaan tak memakai baju menjadi bukti yang cukup kuat.
"Sial, jadi ini jebakan buatku?" Kataku menggerutu di dalam hati.
Belum ada Komentar untuk "Kehormatanku Direnggut dan Dijebak Oleh Janda Desa"
Posting Komentar